Coto Makassar
Coto Makassar

Yang paling melekat dalam ingatan saya mengenai Senen, Jakarta Pusat, adalah Pasar Senen yang terkenal kumuh, semrawut dan berkali-kali mengalami kebakaran. Setelah bertahun-tahun tidak ke sana, saya kembali menelusuri kawasan Senen dengan berjalan kaki melalui Walking Tour dengan 3 peserta saja, termasuk seorang pemandu. Lebih sedikit, lebih aman. Sebuah pola pikir yang hanya dapat terbentuk secara bertahap setelah pandemi Covid-19.

Salah satu keunggulan menelusuri suatu kawasan dengan berjalan kaki adalah saya dapat memusatkan perhatian terhadap hal-hal kecil yang “kasat mata” bila naik kendaraan pribadi dengan kecepatan tertentu. Boleh dibilang saya cukup tercengang dengan “wajah baru” di depan mata saya. Lokasi Pasar Senen tempat saya membeli perlengkapan restoran sudah berganti menjadi superblock yang masih dalam proses pembangunan. Stasiun Senen nampak modern dengan fasad serba kaca dan lapangan yang bersih dan instagrammable.

Bahkan, saya baru menyadari bahwa di Senen masih ada bangunan sejarah peninggalan Belanda yang dahulu adalah tempat di mana tentara KNIL suka berpesta, yang kini menjadi otlet Pizza Hut. Padahal letaknya persis di depan Mal Atrium Senen, satu-satunya bangunan yang masih saya kenali di kawasan tersebut.

Di akhir rute, sang pemandu menyarankan kami untuk mencoba coto Makassar favorit Jusuf Kalla di Jalan Kramat. Sebetulnya, kuliner di daerah Kramat bukan hanya coto Makassar karena di sana juga surganya nasi kapau di Kramat Street Food.

Namun, pandemi ini membuat saya sedikit lebih pemilih dalam mencari tempat makan-makan. Lauk-pauk nasi kapau yang sebetulnya menggoda selera sayangnya tidak disimpan dalam kemasan tertutup. Dengan posisi lapak di pinggir jalan besar yang pasti berdebu, saya jadi berpikir 2 kali untuk bersantap di sana. Mungkin kalau ditutup plastik pada bagian luar etalase, saya rasa akan lebih higienis. Tapi, teman seperjalanan saya sih tidak keberatan dengan hal itu dan tetap beli lauk dari sana untuk dibungkus.

Kemudian, kami berbelok ke kiri membelakangi deretan nasi kapau dan menemukan rumah makan bertuliskan “Coto Makassar Senen Syamsul Daeng Ngawing”.  Coto Makassar adalah jeroan sapi yang direbus lama dan disajikan dengan kuah sop yang diracik bumbu khusus.

tampak depan : Coto Makassar Syamsul Daeng Ngawing
tampak depan : Coto Makassar Syamsul Daeng Ngawing

Terus terang, saya merasa tempatnya lebih higienis dan relatif lebih “aman” dalam situasi sekarang. Ruang makannya terbagi 2 yang lokasinya berseberangan satu sama lain dan tidak ada kerumunan ketika kami berkunjung. Penyimpanan coto juga berada di dalam panci tertutup yang lebih terjamin kebersihannya. Kabar baik lainnya adalah tempat cuci tangan umum dengan tangki air besar sebagai tempat penampungan air letaknya dekat dengan rumah makan. 

Syamsul Daeng Ngawing, selaku pemilik, adalah generasi ketiga dari keluarga yang sudah ahli membuat coto Makassar yang diawali oleh neneknya. Beberapa rumah makan coto Makassar yang terkenal di kampung halamannya ternyata masih 1 keluarga dengan Syamsul. Awalnya, ia merintis usahanya di Kalijodo, lalu pindah ke Kramat sejak tahun 2001 hingga kini. Syamsul juga mempunya cabang lain di Phoenam Coffee, Jalan KH. Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.

Coto Makassar Syamsul banyak dikenal orang karena rasanya yang orisinil. Bahkan penggemarnya termasuk kalangan pejabat, seperti Jusuf Kalla misalnya, yang pernah memesannya untuk dibawa ke istana sebagai jamuan untuk tamu-tamunya sewaktu beliau masih menjabat sebagai wakil presiden.

Sesuai namanya, dagangan utamanya hanya coto Makassar dengan banyak pilihan kombinasi jeroan. Daftar menu selengkapnya tertera di sisi samping kulkas minuman, yang kebetulan dekat tempat duduk kami. Menariknya, nama-nama menunya disajikan dengan singkatan-singkatan yang terdengar humoris. Misalnya, “HAUS JANDA:  Hati Usus Jantung Daging”, “TANPA PERASAAN: Tidak Pake Hati”, “JANDA PANAS: Jantung Daging Pake Nasi” dan banyak lagi.

Menu yang “nyeleneh”

Bila tak mau jeroan, daging pun juga tersedia. Saya memesan coto berisi babat dan daging. Awalnya, saya terkecoh dengan mangkoknya yang kecil seukuran mangkok wedang ronde. Dibanderol Rp 30.000 per porsi, saya menyangka harganya bisa murah karena isinya sedikit. Ternyata setelah diciduk dengan sendok, isinya lebih melimpah dari dugaan, bahkan lebih banyak dari kuahnya.

Di Syamsul Daeng Ngawing tidak jual nasi, melainkan ketupat. Bila rumah makan lain menawarkan es jeruk, maka di sini jualnya es markisa yang Rp. 8000 saja per gelasnya. Bila ingin hidangan penutup, pisang ijo ditawarkan seharga Rp. 12.000 per porsi.

Ketupat & Es Markisa

Karena menikmati coto Makassar adalah pengalaman pertama saya, maka saya tidak tahu rasa asli di kampung halamannya seperti apa. Yang jelas, saya puas dengan apa yang saya santap karena isi daging dan jeroannya tidak pelit. Bahkan, saya perlu menghabiskan 2 porsi ketupat untuk menyeimbangkan dengan isi cotonya. Sebagai catatan, ukuran ketupatnya lebih kecil daripada biasanya. Namun, tak menutup kemungkinan saya bisa habis 2 ketupat karena kelaparan setelah berjalan jauh selama berjam-jam. Kuahnya juga pas gurihnya dan tidak terlalu asin micin. Sebetulnya akan lebih seru lagi bila kuahnya lebih banyak. Tapi, itu hanya pendapat pribadi saya. Saat itu saya juga tidak terpikir untuk minta tambah kuah, walaupun mungkin saja bisa.

Bagi saya, untuk menilai sebuah masakan enak atau tidaknya, terkadang tidak perlu perbandingan dengan yang di tempat lain. Hanya menggunakan indera pengecap saja sebetulnya sudah cukup, selera pribadi sebagai tambahan dan kejujuran berpendapat tanpa pengaruh orang lain.

Bagaimanapun juga, saya sebagai penikmat kuliner senang bahwa tidak perlu jauh-jauh ke Makassar untuk menikmati coto Makassar yang enak. Dengan kombinasi yang tidak begitu biasa di saya, seperti nasi diganti ketupat dan es jeruk diganti es markisa, saya seolah-olah sedang tidak berada di Jakarta. Dan semua ini dapat dinikmati hanya dengan menguras kocek tidak lebih dari Rp. 50.000 per orangnya. Pada akhirnya, apa-apa yang sudah terkenal sampai kalangan atas tidak selalu identik dengan mematok harga selangit, kok.

Saatnya membayar di kasir

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here