Berwisata ke kampung adalah kegiatan traveling yang diluar kebiasaan saya, apalagi kalau lokasinya di Jakarta. Namun, kampung yang saya kunjungi memang tidak biasa karena kampung ini adalah satu-satunya tempat tinggal warga keturunan Portugis di Jakarta, yakni Kampung Tugu di Semper, Jakarta Utara.

Supaya tidak penasaran, saya berangkat ke Kampung Tugu bersama rombongan walking tour dari Wisata Kreatif Jakarta pada hari minggu pertama di bulan Januari 2019 silam. Kebetulan, waktunya bersamaan dengan festival Mandi-Mandi, puncak perayaan tahun baru khas Kampung Tugu dengan tujuan saling memaafkan atas kesalahan satu sama lain di tahun sebelumnya.

Walaupun wisata ini lebih berorientasi pada wisata budaya, kami akan tetap mendapat kesempatan untuk mencicipi kuliner khas Kampung Tugu yang sulit ditemukan di wilayah Jakarta lainnya dan tidak dapat diakses melalui layanan pesan antar daring.

Perjalanan ke Kampung Tugu dimulai dari kunjungan pada pagi hari pukul 9.30 ke bangunan cagar budaya yang masih aktif digunakan, yakni Gereja Tugu, yang berdiri sejak tahun 1748. Gereja yang sekarang bernama GPIB (Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat) ini menjadi titik tolak penting dalam sejarah peradaban warga keturunan Portugis di Jakarta.

gereja tugu

Semua berawal dari keberhasilan Belanda dalam merebut Malaka dari tangan Portugis tahun 1648, ketika Belanda membawa tentara Portugis dari India, seperti Goa, Malabar, Benggali, ke Batavia untuk dijadikan pekerja. Sebagai syarat untuk memerdekakan mereka dari segala pajak (maka disebut kaum mardijker) Belanda meminta orang-orang Portugis yang memeluk agama Katolik untuk pindah menjadi Kristen Protestan, agama mayoritas orang Belanda. Kemudian mereka dibuang ke Kampung Tugu dan bekerja sebagai petani.

Pengalaman berkuliner pertama kami barulah terjadi ketika mengunjungi rumah Oma Deny, wanita asal Surabaya yang menikah dengan warga Kampung Tugu. Setelah ia bercerita banyak tentang kehidupan di Kampung Tugu sebagai pendatang serta sikap warga yang menjunjung kebersamaan tinggi dan ringan tangan, Oma Deny menyuguhkan gado-gado buatannya yang dihidangkan di mangkok besar untuk disantap ramai-ramai.

Gado-gado tentunya sudah banyak di Jakarta dan kota-kota lain di Pulau Jawa, tapi sebetulnya Kampung Tugu mempunyai ciri khasnya tersendiri. Perbedaan utama antara gado-gado a la Kampung Tugu dengan gado-gado a la Betawi di wilayah Jakarta lainnya adalah penggunaan kencur, santan, kemiri, bayam dan bumbu kacang yang disiram, bukan diulek, yang membuat rasanya lebih gurih berempah.

Setelah mengelilingi kampung dari gang ke gang, akhirnya kami dapat duduk-duduk beristirahat di sebuang saung kayu yang dihiasi machina, alat musik yang menyerupai ukulele, dengan latar belakang spanduk bertuliskan “Keroncong Tugu Cafrinho”. Keberadaan musik keroncong sangat berkaitan dengan terciptanya machina.

machina

Diawali dengan lokasi Kampung Tugu yang jauh dari pusat kota, penduduk lokal bermain musik untuk menghibur diri dengan bermain machina yang terdengar seperti crong, crong, crong. Maka muncullah kata keroncong. Keroncong adalah jenis musik yang berasal dari Kampung Tugu, bukan Jawa seperti dugaan banyak orang. Grup keroncong Tugu yang terkenal adalah Cafrinho pimpinan Guido Quiko, generasi keempat dari marga Quiko, yang sering diundang pada acara penting di Ibu Kota.

Kemudian, pemandu kami membagikan penganan khas Kampung Tugu sesuai dengan jumlah peserta yang ada. Kulineran di Kampung Tugu tidaklah seperti di kampung-kampung wisata pada umumnya, di mana dapat dibeli dengan mudah di toko khusus jajanan oleh-oleh. Untuk ukuran kampung yang berorientasi ke pariwisata, hal ini tentunya tak lazim.

Salah satu kudapan yang terkenal adalah pisang udang. Kue basah berbentuk segitiga ini terbuat dari adonan tepung beras dan tepung sagu yang dibungkus daun pisang. Jadi, tidak ada campuran pisang di adonannya. Walaupun mirip dengan kue nagasari, namun isi cacahan udang yang ditumis dan pepaya muda parut membuat rasanya gurih, bukan manis. Terus terang, dari semua kue basah yang saya coba pada hari itu, favorit saya adalah pisang udang.

pisang udang

Pembuatannya pun perlu keterampilan khusus, termasuk cara membungkusnya yang agak sulit. Daun yang dibutuhkan adalah yang berukuran lebar, pemotongannya tidak boleh terbalik supaya sudut-sudut segitiganya tertutup rapat, sehingga tepungnya tidak keluar.

Selain itu, ada apem kinca yang tak lain dari kue bolu berwarna putih yang dicocol gula merah cair, yang wajib disajikan pada acara-acara besar. Bolu pada apem kinca tidaklah sama persis dengan bolu kukus yang biasa di toko kue karena teksturnya lebih legit dan tidak terlalu manis. Bahkan di Brazil, yang merupakan negara bekas jajahan Portugis, mempunyai kudapan sejenis.

apem kinca

Uniknya, masyarakat Kampung Tugu juga mempunyai hidangan khusus untuk upacara kematian. Yakni ketan unti, yang terbuat dari ketan putih dengan toping kelapa parut yang dicampur gula merah. Biasanya, kue ini disajikan ke para pelayat yang menunggu jenazah untuk dimakamkan. Untungnya kami tak harus menunggu ada warga yang meninggal untuk mencicipinya. Rasa gurih manis dari kelapa parut dan gula merah yang dipadu ketan membuat saya teringat akan lupis. Hanya bedanya, ketan pada lupis ada yang dicampur beras dan gula merah disajikan terpisah dari kelapa parutnya.

ketan unti

Sekitar pukul 1.30 siang, akhirnya kami tiba di aula Gereja Tugu untuk mengikuti festival Mandi-Mandi seperti yang dijadwalkan. Sebelum acara dimulai, kami untungnya masih kebagian jatah prasmanan yang ada gado-gado siramnya, terutama bagi yang belum sempat mencobanya di rumah Oma Deny.

Perayaan Mandi-Mandi ternyata berlangsung seru dan penuh tawa, di mana para peserta festival saling mencoreng wajah dengan bedak dingin sebagai tanda pembersihan dosa. Maka, beredar lelucon semakin banyak corengan wajahnya, semakin banyak dosanya.

Secara keseluruhan, masih banyak potensi yang dapat digali dari Kampung Tugu bila ingin diarahkan sepenuhnya sebagai kampung wisata, termasuk dalam sisi kulinernya. Misalnya dengan pengadaan warung, rumah makan dengan tempat duduk yang nyaman, serta toko cindera mata dan jajanan khas warga setempat yang dapat dijadikan oleh-oleh.

Tapi, mungkin saja kelangkaan kuliner adalah bagian dari daya tarik kampung Portugis di Jakarta ini, yang tidak sepenuhnya harus dipatahkan dengan mengkomersilkan dan memudahkan akses untuk mendapatkannya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here