Siang sekitar pukul dua, kami berdebat cukup alot di atas motor. Rencana awal, setelah Yaya – begitu panggilan imutnya – berkunjung ke rumahku kami akan pergi minum kopi tatungkuik yang berjarak kurang dari 2 km. Sampai perkara ‘terlalu dekat’ ini membawa kami menuju tempat yang berbeda.

“Eh ini udah mau sampai. Ah deket banget nggak berasa jalan-jalan!” Yaya berteriak kencang. Emang sih, lokasinya terlalu dekat untuk sebuah acara reuni. Bayangkan! Ini pertemuan pertama kami nyaris setelah lima tahun hanya menjadi penikmat Instagram Stories masing-masing.

“Gapapa deh! Kan yang dicari juga sama.” Aku juga ragu sebenanrnya. Tapi ya gimana dong, dari dulu sampai udah seperempat abad ini, orangtua emang strict kalau masalah ke luar rumah ini. Takut diomelin kalau pulanngnya kesorean.

Kami sama-sama hening. Aku dengan kekhawatiran dan Yaya dengan kekesalannya. Bisa-bisanya jiwa petualangnya digerus oleh aku si anak susah diajak kemana-mana ini.

“Kamu dari dulu emang nggak berubah ya!” Ia berbisik. “Hahaha, nggak berubah dimananya?” Aku membalasnya dengan tawa sungkan. Jangan ditanya. Sebenarnya karena dari dulu semenjak kami kenal dan berteman, aku emang susah kalau dibawa kemana-mana. Ngeri bo’ ntar diomelin.

“Yaudah deh. Kita yang di Malalak aja. Peklah (cepatlah)!” Aku memantapkan hati. Semoga pulang nanti nggak sampai kelewat adzan Maghrib. Aamiin.

Akhirnya kami berangkat menuju Malalak, lokasi yang terkenal dengan kenikmatan hidangan kopi tatungkuik-nya. Deru motor dipercepat. Aku yakin Yaya tak kalah bersemangat. Perjalanan yang akan kami tempuh kurang lebih satu jam. Menembus dinginnya udara kota Bukittinggi, aku yang tak sempat memakai jaket ini diam-diam menguatkan hati. Tuhan semoga nggak ada drama masuk angin.

Lepas dari daerah Balingka, jalanan mulai sepi dan berkabut. Kiri dan kanan berjejer batang-batang kayu besar dan rimbun. Aku bergidik ngeri. Tapi diam-diam aku ingin menyoraki perjalanan ini. Semenjak pulang dari Jakarta awal pandemi tahun 2020, sepertinya ini jalan-jalan ter-excited yang aku tempuh. Tujuan kami tentunya adalah memburu hidangan kopi tatungkuik di daerah Malalak.

Kurang dari satu jam perjalanan, Yaya perlahan menepikan laju motornya ke barisan kedai yang berada di seberang tebing tinggi bertuliskan ‘Welcome to Malalak’. ‘KADAI AMAK’, begitu tulisan yang aku baca lewat spanduk sederhana yang ditempel di dinding kayu bagian depan kedai. Melihat kedatangan kami, sontak seorang perempuan muda dan satunya lagi paruh baya langsung berdiri menyambut dengan hangat.

welcome to Malalak

Saat itu kondisi kedai tak terlalu ramai. Mungkin karena faktor beberapa wilayah yang menerapkan PPKM serta kondisi cuaca yang dingin dan berkabut.

“Kopi tatungkuiknyo duo Mak!” (Kopi tatungkuiknya dua Mak!) tanpa babibu aku langsung memesannya. Padahal jelas-jelas ada menu lain yang juga di tulis di dinding kedai. Ada teh talua, kawa daun, kopi talua, kopi panggang, dan lain-lain. Sementara itu, Yaya sudah asyik memilih buah durian yang bertumpuk di depan kedai.

Aku menelusuri kedai yang sederhana ini. Hampir seluruhnya didominasi papan dan kayu anyaman dan untuk bagian dalam hanya tersedia opsi untuk lesehan. Menambah kesan hangat di tengah dinginnya udara Nagari Malalak. Akhirnya pilihan tempat duduh jatuh ke meja kayu panjang yang berada di belakang kedai dan menghadap langsung ke panorama alam Malalak. Sayangnya kami datang saat cuaca sedang berkabut. Sejauh mata menadang hanya tampak gumpalan kabut yang berarak lambat. Untung saja sebelum pergi dapat ilham untuk pakai kaus kaki sehingga terhindar dari kebas saking dinginnya.

“Kamu pesan makanan apa?” Yaya bertanya sembari meletakkan sepiring ketan dan buah durian yang sudah dibelah dua di tengah meja panjang. Beuhh, bau semerbaknya menusuk hidungku yang nggak suka durian ini.

“Pop mi goreng udah paling bener.” Aku menjawab mantap.

“Katan jo durian ndk do lawan.” (Ketan dan durian nggak ada lawannya) Yaya menyahut tak kalah mantap.

Karena tak suka durian aku hanya mencicipi ketan yang dipesan Yaya. Enak. Tampak dimasak dengan santan segar. Ditambah dengan aroma pandan yang membuatnya semakin lezat.

Tak lama kemudian hidangan yang dinanti-nanti datang juga. Dua gelas kopi tatungkuik dengan aroma khas yang membuat air liur terbit.

Sesuai nama, kopi tatungkuik disajikan dalam keadaan tertelungkup di atas piring kecil (tadah). Nggak cuma penyajian, proses pembuatannya pun juga terbilang unik. Mulai dari biji kopi robusta dan butiran ketan hitam disangrai atau istilah kerennya di-roasting terlebih dahulu. Kemudian di simpan di dalam toples kaca. Barulah saat ada pesanan, biji kopi dan ketan hitam akan disendokkan ke dalam gelas kemudian ditambah gula atau susu, tergantung pesanan. Tahap akhir disiram dengan air panas.

kopi tatunguik

“Eh jangan googling cara minumnya. Kita cari tau sendiri yuk!” Si suka tantangan emang nggak pernah berhenti dengan ide baru.

Pertama-tama, aku mencoba mengangkat gelasnya perlahan tapi tetap aja gregetan, ini kalau apes bisa-bisa kopinya tumpah semua. Sedangkan Yaya mencoba menyelipkan ujung sedotan ke bibir gelas baru menghirup kopi. Aman, tetap bisa diminum tapi ekspresi wajahnya jadi nggak banget karena kopi yang panas langsung masuk ke mulut bikin kaget.

Kami tertawa, menikmati eksperimen minum kopi tatungkuik. Sampai akhirnya sepakat untuk bertanya pada penjaga kedai, bahwa minum kopi tatungkuik idealnya adalah dengan meletakkan ujung sedotan ke bibir gelas dan meniupnya hingga cairan kopi keluar perlahan barulah menghirupnya.

“Jadi sekarang kamu lagi dekat dengan siapa?” Aku sedikit kaget dengan pertanyaan tiba-tiba ini. Seumur-umur kami dekat, jarang sekali ada urusan hati yang pernah terlontar dari mulut satu sama lain. Atau di usia menolak dewasa ini, hal tersebut sudah lumrah?

“Orang yang sama dari dulu hingga sekarang.” Aku tertawa getir meretas kesetiaan dari zaman sekolah putih abu-abu hingga sekarang. “Kalau kamu?”

“Kemaren aku patah hati sampai malas makan karena ditinggal gitu aja. Sekarang berbunga lagi karena dekat dengan kawan masa mengaji di TPA dulu” Mata Yaya berbinar. Ternyata urusan hati memang kuat pengaruhnya. Lalu kami larut dalam obrolan soal ‘dekat sama siapa’ dan ‘apa sudah ada rencana ke depannya untuk bersama’ ini.

Kopi Tatungkuik milikku sudah nyaris habis, begitupun dengan Yaya. Piring berisi ketan sudah ludes, menyisakan beberapa biji durian yang rencananya akan dibungkus saja sebagai buah tangan untuk orang rumah.

“Eh ada pensi sama goreng angek (goreng panas) juga di sini. Pesan yuk!” Udara Malalak menjadi alasan buat kami memesan beragam menu. Sampai dihidangkan sepiring tahu goreng yang asapnya masih mengepul dan semangkuk pensi – kerang berukuran kecil yang ditumis bersama rempah-rempah kaya rasa. Obrolan kami masih panjang, sesekali mengeluh karena hidup nggak berjaan sesuai rencana. Banyak tawanya mengingat kebodohan kami zaman sekolah.

Dinginnya Malalak, unik dan hangatnya kopi tatungkuik, serta gurihnya ketan menjadi saksi. Pertemuan kami sebagai teman lama dan pembicaraan pertama soal hati yang begitu dalam dan rumit tapi selalu bikin penasaran.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here