Tinggal di sebuah daerah perbatasan, alias daerah Cibubur, merupakan sebuah keasyikan tersendiri. Orang tua saya merupakan orang yang cukup lama tinggal di Cibubur, maka dari itu sedikit banyak saya sering diceritakan tentang tempat ini. Dari betapa sepinya tempat dan daerah ini dulu kala, hingga sekarang ramai, penuh pedagang makanan atau barang kebutuhan, hingga komplek-komplek perumahan besar dan kokoh.
Berbicara soal Cibubur dan para pedagangnya, terutama pedagang kuliner banyak tersedia di tempat ini. Kuliner yang tersedia berasa dari daerah sabang hingga merauke. Bahkan, jajanan seperti Papeda, makanan khas dari Papua pun ada di daerah ini. Namun, karena darah saya berasal dari tanah Jawa, yang terkenal suka rasa manis khas dari kuliner tanah ini, saya pun mampir ke sebuah kedai atau warung Angkringan baru dekat rumah saya.
Asyiknya, bahwa kedai atau warung Angkringan sekarang, cukup mudah ditemukan di mana-mana. Bahkan kedai ini cukup dekat dengan rumah saya yang berada di kawasan Cibubur, Taruna Jaya. Kedai itu berdiri di sebuah lahan, di depan gerbang sebuah sekolah menengah kejuruan. Kedai ini terbilang sederhana, namun ramai pengunjung.
Sore itu sehabis hujan, di hari Jumat, sehabis pulang dari kunjungan ke sebuah Mall, kedai dengan nama Angkringan Alvi ini sedang buka.
“Akhirnya.” Pekik saya dalam hati. Sudah lama saya ingin mampir ke kedai ini, tapi seminggu atau dua minggu lalu, kedai ini tutup. Namun, ketika saya ingin mampir, selalu diiringi kebiasaan Ibu saya yang suka memasak, karena beliau pasti sudah menyediakan makanan di rumah. Akhirnya saya hanya lewat saja di depan kedai yang sedang buka kala itu.
Jam menunjukkan pukul 5 lebih, hampir setengah 6. Kedai itu masih sepi, bahkan mungkin pelanggan pertama dari kedai tersebut adalah saya. Saya pun menyapa Ibu yang menjaga kedai tersebut. Dengan ramah ia menyapa. Saya yang sebelumnya pernah ke kedai tersebut, merasa sedikit santai untuk memilih-milih berbagai macam sajian sate, bacam, dan nasi kucing. Setelah memilih sate usus, sate kulit, dan sate telur puyuh, lalu saya lengkapi dengan sebungkus nasi kucing. Semua makanan saya bungkus untuk dibawa pulang, ya nanti nasinya bisa saya tambah di rumah, karena kita semua tahu porsi sebungkus nasi kucing itu kecil.
Ketika selesai memilah sate-sate dan nasi kucing, kemudian pesanan saya dihangatkan dengan cara dibakar di atas bara api. Saya menunggu seraya duduk, dan berbincang dengan sang penjual makanan. Ibu tersebut menjelaskan bahwa kalau kedainya tidak buka, berarti ia sedang pulang kampung, dan ia bilang juga, hampir tidak pernah libur berjualan. Ibu tersebut berasal dari Solo asli. Tak heran, teman saya yang pernah mampir ke kedai ini bilang, “Rasanya, autentik Solo banget.”
Harga yang dipatok di kedai Angkringan ini menurut saya terbilang murah ya. Untuk beragam sate dan sajian masakan bacem dipatok dari harga Rp 2000. Sedangkan minuman hangat atau dinginnya dipatok dari harga Rp 5000. Minuman dingin atau hangatnya terdiri dari kopi, teh, dan minuman rasa. Harga yang cukup pas dikantong untuk semua kalangan. Apalagi ketika makanan yang saya pesan dijumlahkan, saya hanya perlu membayar sebesar Rp 14.000. Angkringan ini buka mulai pukul 5 sore hingga 2 pagi.
Setelah sampai di rumah, saya menikmati pesanan saya. Sambal yang super pedas dan nendang dipadu dengan bumbu manis gurih dari beragam sate yang saya beli, cukup memuaskan makan malam sederhana saya. Ditemani dengan segelas air putih, dan nasi yang saya tambahkan, karena nasi kucing satu bungkus saja kurang, lengkap sudah hari saya kala itu. Makan hemat dan puas masih bisa ternyata dirasakan di Jakarta, apalagi dekat pula kedainya.